Merdekanusantara.com, Jakarta – Saya merasa berbahagia dapat mengakhiri pengabdian sebagai anggota Dewan Pers dengan baik, sesuai harapan pribadi. I look into my self, I feel no shame. Saya ingat kalimat ini yang dulu terkenal karena disampaikan Pangkopkamtib Jenderal Sumitro, ketika dia diberhentikan oleh Presiden Soeharto.
Tentu saja tidak ada pekerjaan yang sempurna. Sebaik apapun rencana dan keinginan manusia semua tetap terpulang ke padaNya sejauh kita telah bekerja keras, bekerja cerdas, sesuai dengan hati nurani. Saya merasa telah memberi semua yang saya punya, walau mungkin tidak memenuhi ekspektasi. Baik dari lembaga Dewan Pers maupun pemangku kepentingan.
Menengok ke belakang, menjadi anggota Dewan Pers, bukanlah keinginan saya pribadi. Pada tahun 2016 ketika ada proses pencalonan, saya sebagai Sekjen dan Ketua Umum Margiono sudah menandatangani surat rekomendasi bagi dua pengurus PWI Pusat ke Badan Pekerja Pemilihan Anggota Dewan Pers. Mendadak menjelang deadline, Pak Margiono yang waktu itu berstatus Wakil Ketua Dewan Pers menelpon agar saya yang maju.
Walau keberatan karena dipaksa saya tergopoh-gopoh menyiapkan dokumen, termasuk izin dari Harian Kompas, dan kemudian terpilih menjadi anggota pada Maret tahun 2016 dengan turunnya Keputusan Presiden.
Saya ditetapkan secara kolegial sebagai Ketua Komisi Pendidikan yang secara umum membidangi masalah peningkatan kapasitas dan kompetensi wartawan, dan juga wakil ketua komisi pengaduan yang melayani masyarakat yang mengadukan produk jurnalistik ataupun perilaku wartawan karena mersa dirugikan. Karena program kegiatan dan anggaran pendidikan sedikit, kegiatan yang dilakukan pun sedikit juga, paling kunjungan ke kampus, memberi pelatihan yang dibiayai pihak lain, pelatihan menjelang pemilu dan pilkada dst.
Belum ada sertifikasi kompetensi wartawan di 34 provinsi seperti yang dilakukan Dewan Pers dengan biaya APBN mulai tahun 2021 dan 2022 yang menciptakan kesibukan luar biasa. Yang menyita waktu justru kedudukan sebagai pengurus Komisi Pengaduan.
Bersama dua senior Leo Batubara dan Herutjahjo, dibantu anggota Pokja Pengaduan lainnyaseperti Samsuri dan Rustam Mandayun, dalam satu minggu kami bisa tiga hari melayani pengaduan. Mulai dari yang remeh-temeh, misalnya ada wartawan baru yang mengadu ke Dewan Pers karena dia ditolak saat ingin mewawancara seorang kepala sekolah, sampai pengaduan tingkat tinggi yang melibatkan Presiden Joko Widodo, dan bakal Wapres (waktu itu) Ma’ruf Amin, calon presiden Prabowo Subianto, dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ada lagi kasus berbobot menyangkut Ketua DPR Setya Novanto, eks Tim Mawar Mayjen TN Chairawan, Ketua Umum PPP Rohamurmuziy, dan aduan dari Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Gubernur Babel Erzaldi Rosman, Gubernur Banten Wahidin Halim, sebagai contoh.
Saya sebut berbobot karena memerlukan kesabaran ekstra agar hasil mediasi Dewan Pers sejalan dengan perintah Undang-Undang No. 40 tentang Pers dan memuaskan para pihak. Target utama kami adalah terjadi Risalah, artinya Pengadu dan Teradu menerima keputusan Dewan Pers yang setelah memeriksa dan menganalisa pengaduan, biasanya menyatakan Teradu melanggar kode etik jurnalistik lalu memuat hak jawab atau memuat hak jawab disertai permintaan maaf kepada Pengadu dan masyarakat.
Tetapi kerap terjadi akhirnya keluar keputusan Penilaian dan Pernyataan (PPR) Dewan Pers karena ada salah satu pihak yang merasa keberatan atas rekomendasi dari Pokja Pengaduan. Kalau sudah begini maka kasusnya diangkat ke rapat pleno anggota Dewan Pers, dan apabila konsep penilaian itu disetujui, dia menjadi PPR. Prinsipnya, PPR bersifat final tetapi Pengadu boleh keberatan dengan membuat surat pernyataan di atas materai. Biasanya ini dilakukan karena Pengadu ingin melanjutkannya ke ranah hukum karena mereka menganggap UU Pers terlalu “lunak” dan berpihak kepada pers.
Mereka ini tidak menyadari bahwa Reformasi 1998 yang menghasilkan UU Pers adalah kemauan masyarakat dan bangsa Indonesia, untuk menciptakan pers yang bebas, setelah puluhan tahun dibatasi dan dikekang Soeharto. Walau memang ada masalah, seiring perjalanan waktu semakin banyak wartawan dan media, hanya menikmati kemerdekaan dan alpa atau pura-pura lupa pada kewajibannya untuk menghasilkan berita yang sesuai kode etik.
Dalam pengaduan ini, memberi pemahaman tentang Kode Etik Jurnalistik bagi pimpinan media juga tidak mudah. Dalam kasus pengaduan Partai Demokrat terkait pemberitaan Susilo Bambang Yudhoyono, yang bersumber dari Asia Sentinel, banyak di antara mereka yang merasa benar karena hanya “meneruskan” informasi dari media yang berbasis di Hongkong itu.
Padahal jelas disebutkan aturan, yang bertanggungjawab atas berita adalah media yang memuat, menyiarkan, bukan yang menjadi sumber. Setelah kemudian Asia Sentinel mencabut beritanya karena tulisan Jon Berthelsen dianggap salah, barulah mulai ada kesadaran, dan seluruh media mau memuat hak jawab dan meminta maaf kepada Pengadu. Tapi ngotot dan merasa benar, ditunjukkan dulu, ya tentu inilah sifat wartawan—apalagi sudah punya nama besar di komunitasnya–yang tentu saja dipahami Pokja Pengaduan meski saya sering mengelus dada untuk menyabarkan hati.
Menjadi anggota Dewan Pers juga berarti harus siap menghadapi mereka yang merasa pers padahal tidak mengerti hakekat dari profesinya. Di sebuah kabupaten di Jabar, saya dimarahi karena dianggap menghalang-halangi rezeki mereka karena ada surat edaran Dewan Pers agar pemerintah daerah tidak memberikan “uang transport” bagi wartawan yang meliput. Sebab sesuai dengan Peraturan Dewan Pers maka yang memberi gaji dan kesejahteraan lain adalah perusahaan pers dan KEJ mengatur wartawan tidak boleh menerima uang dari narasumber.
“Asal Anda tahu ya, kami ini bekerja tidak digaji. Darimana kami mendapat uang kalau tidak dari meliput kegiatan-kegiatan itu?” kata salah seorang. “Kok Anda mau bekerja tanpa digaji?”, saya balas menjawab.
“Kami perlu bekerja, Pak, agar bisa hidup.”
Akhirnya saya menjelaskan makna profesi wartawan, tugas dan kewajibannya dan kode etik yang melandari profesinya. Wartawan bukan buruh, bukan pekerja biasa. Dia profesi, ada kehormatan dalam pekerjaannya. Dia tidak boleh merima amplop demi integritas dan independensinya.
Entah apa dia paham atau tidak, yang penting, saya ingin dia sadar menjadi wartawan bukan sekadar menulis berita atau menyebarkan informasi. Tetapi menjalankan fungsi sebagai pembela kepentingan publik, menyerap aspirasi mereka yang terpinggirkan, dan mengontrol kekuasaan lewat berita yang kritis.
Di sebuah kabupaten di Sumut, saya diomeli karena Dewan Pers dianggap tidak membantu wartawan karena mengatakan apabila informasi tersebut sudah tersedia lengkap, maka tidak perlu bertemu pejabatnya, cukup staf atau orang yang mewakili.
“Kami mau bertemu Kepala Dinas, tidak bisa. Malah Anda mengatakan, dia boleh mewakilkan ke stafnya. Kami perlu pernyataannya,” kata seseorang. “Untuk apa bertemu Kepala Dinas? Yang penting kan informasinya, bukan orangnya. Barangkali Anda punya kepentingan lain, bukan untuk cek dan ricek. Kalau ada stafnya kan cukup. Atau karena stafnya tidak pegang duit?”. Langsung beberapa orang tertawa karena kata-kata saya yang langsung “menembak” tanpa basa basi.
Berkunjung ke beberapa daerah, umumnya sebagai narasumber, saya selalu mendapatkan komplain tentang ulah wartawan yang memanfaatkan pekerjaannya untuk mendapatkan uang, bahkan memperkaya diri. Tidak sedikit pula orang dari Dinas Kominfo yang berkonsultasi ke Sekretariat Dewan Pers di Jakarta, untuk mendapatkan cara-cara menghadapi wartawan ataupun bekerjasama dengan perusahaan pers, agar tidak terjadi konflik. Misalnya kami mengusulkan agar di setiap kantor instansi, ditempelkan poster Kode Etik Jurnalistik, untuk mengingatkan wartawan yang datang meliput.
Kalau perlu ditempel di semua pojok strategis. Sementara untuk kerjasama, kami menyarankan agar dibuat aturan jelas tentang syarat, hak, dan kewajiban antara pemilik anggaran dan media yang diajak kerjasama. Seperti Peraturan Gubernur Sumatera Barat, Gubernur Riau, yang jelas, sehingga bersifat transparan dan terukur.
Banyak keliling dan membagikan kartu nama membuat saya juga sering dihubungi, entah itu staf pemerintah daerah, lembaga, perusahaan pers, maupun wartawan. Isinya macam-macam, mengadu karena terintimidasi, menyampaikan bahwa perusahaannya dikirimi proposal untuk minta THR, ada berita yang menuduh perusahaanya melanggar aturan soal lingkungan dan ketenagakerjaan.
Ada yang memaksa agar dipasangi iklan. Ada yang bertanya tentang proses pendaftaran media di Dewan Pers. Dan tentu saja ada yang menghujat dan memaki-maki khususnya ketika Dewan Pers mengeluarkan surat edaran, imbauan agar lembaga dan perusahaan tidak memberikan THR, pada bulan April lalu.
Polsel saya terbuka bagi siapa saya, tetapi kadang kalau lelah, saya tidak menjawab panggilan ataupun WA yang kurang patut. Kalau kepala sedang dingin, saya jawab, “Bacalah Undang-Undang Pers, baca itu Kode Etik Jurnalistik, pahami pekerjaan Anda.” Entah karena bebal atau memang hanya menjadikan pekerjaan wartawan untuk mencari hidup, tentu saja mereka tidak akan pernah berubah. Bagi saya yang penting, saya telah menjalankan kewajiban, melayani dan memberitahu apa yang seharusnya mereka lakukan kalau betul mau menjadi wartawan atau mau sungguh-sunggu mengelola perusahaan media.
Enam tahun dua bulan, terasa sebentar, meskipun saat menjalaninya kadang waktu berjalan lamban. Bagi saya menjadi anggota Dewan Pers merupakan suatu kehormatan, berusaha menjalankan tugas untuk membantu menciptakan wartawan yang sesuai tuntutan masyarakat agar profesi ini berharga dan bermartabat. Menjadi bagian, darah daging bagi Republik Indonesia, sebagaimana ditunjukkan para pendahulu saat mereka ikut memperjuangkan dan kemudian membela kemerdekaan Indonesia, dan kini tentu saja ikut membangun agar bangsa ini semakin maju.
Dewan Pers harus selalu siap menjadi tempat mengadu dan melayani masyarakat dan bangsa Indonesia sebaik-baiknya. Dan itu kini menjadi tanggungjawab rekan-rekan yang terpilih sebagai anggota baru untuk periode 2022-2025. Selamat bekerja. (Ayu)