Aceng Syamsul Hadie: Buruh Menggugat, Cabut UU Omnibus Law !

Derita nestapa buruh tak berujung dan tak bertepi, Itu yang dirasakan kaum buruh Indonesia, potret kaum proletar yang termarginalkan, kini terpasung dan terpedaya oleh regulasi semu yang menyesakkan dada kaum buruh, yaitu Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang sering disebut UU Omnibus Law.

Setelah melalui proses hukum dimana UU Omnibus Law ini diajukan untuk diuji aspek formil maupun aspek material maka Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa UU Omnibus Law dinilai cacat formil dan inkonstitusional secara bersyarat. Maka MK memerintahkan kepada para pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK. Jika dalam tenggang waktu itu para pembentuk UU tidak melakukan perbaikan, maka UU Omnibus Law menjadi inkonstitusional secara permanen.

*A. Penghianatan Politik.*

Buruh kadang hanya dijadikan komoditas politik oleh para politisi baik perorangan maupun kelompoknya, khususnya saat mendekati pesta demokrasi seperti pemilu dan pilkada, mereka tampil seakan menjadi pembela buruh dan terlihat kaum buruh dijadikan rebutan untuk mendulang suara. Setelah selesai pemilu dan pilkada tiba-tiba para pembela buruh menghilang dan mundur teratur, bahkan diduga telah melakukan penghianatan politik dengan lahirnya UU Omnibus Law yang sangat merugikan buruh dan berpihak kepada pengusaha dan investor.

Sejak awal pembahasan RUU Omnibus Law di DPR dan pemerintah memang sudah menuai kritikan dari para tokoh dan kalangan akademisi serta buruh karena isi materinya dianggap merugikan pekerja. Walaupun kritikan dan saran untuk dihentikan, tetapi proses pembahasan dan penyusunan UU tersebut terus berlanjut dan terkesan seakan dipaksakan serta tergesa-gesa, akhirnya pada bulan Oktober 2020 disahkan oleh DPR dan resmi ditandatangani oleh Presiden pada 2 November 2020.

Pengesahan UU Omnibus Law mendatangkan banyak kritik dari berbagai pihak, terutama para buruh merasa bahwa dengan disahkannya undang-undang tersebut, maka semakin menyulitkan buruh untuk mendapatkan haknya. Undang-undang ini juga disebut-sebut sebagai bentuk kurangnya keberpihakan DPR dan pemerintah terhadap buruh, itulah yang dimaksud penulis bahwa Pemerintah dan DPR telah melakukan penghianatan politik terhadap konstituennya saat pesta demokrasi.

*B. UU Omnibus Law inkonstitusional dan Cacat Formil.*

UU Omnibus Law ini terlihat tidak berpihak kepada buruh dan masyarakat kecil tetapi lebih cenderung keberpihakan kepada investor dan pekerja asing, hal ini pernah disampaikan oleh pengamat politik dari Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie, “Memang UU ini agak kontroversi. Paling diuntungkan justru investor dan pekerja asing”.

Secara umum menurut konsep ideal bahwa dampak positif dari UU Omnibus Law ini adalah dapat menguatkan kebijakan moneter, inflasi, kebijakan fiskal yang akomodatif dan mempercepat belanja infrastruktur serta dinilai bisa memangkas birokrasi yang sebelumnya berbelit dan tidak efisien.

Tetapi harus disadari bahwa UU ini berdampak negatif yang sangat besar bagi para buruh atau pada klaster ketenagakerjaan terdapat pasal-pasal yang sangat merugikan buruh antara lain; Adanya sistem Kerja Kontrak yang merugikan, Praktik Outsourcing semakin meluas, Waktu kerja eksploitatif seakan tidak manusiawi, Berkurangnya hak cuti dan istirahat termasuk penghapusan cuti bagi wanita yang melahirkan dan Pekerja rentan alami PHK serta beberapa yang dihapus, seperti upah minimum, pesangon, jaminan sosial, sanksi pidana bagi pengusaha dan banyak lagi pasal-pasal yang dianggap sangat merugikan pihak buruh.

Polemik UU Omnibus Law terus menuai kritik dan kecaman dari semua pihak, sampai digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji aspek formil maupun aspek materil. Dalam putusan MK telah mengabulkan pemohon terkait UU Omnibus Law, setidaknya ada beberapa hal yang termuat dalam amar putusan MK bernomor 91/PUU-XVIII/2020 ini.

Pertama, menyatakan pembentukan UU Omnibus Law bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan”.

Kedua, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Omnibus Law menjadi inkonstitusional secara permanen.

Ketiga, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Omnibus Law.

*C. Penyelewengan Politik.*

Keputusan MK tersebut telah membuktikan UU Omnibus Law dibuat secara serampangan oleh DPR dan Pemerintah terlebih UU ini cenderung berpihak kepada investor atau pengusaha dan mengesampingkan nasib pekerja. Sudah seharusnya pembuat Undang-Undang menyerap lebih banyak aspirasi pekerja/buruh terutama terhadap Undang-Undang yang memberikan dampak langsung kepada para buruh/pekerja. Putusan Mahkamah konstitusi ini sudah seharusnya menjadi pelajaran penting dan berharga agar pembuat Undang-Undang ke depan agar lebih profesional taat asas dan lebih menghargai partisipasi publik.

Tetapi pada kenyataan dalam perjalannya pemerintah dan DPR dianggap tidak mengindahkan keputusan MK, dimana UU ini telah dinyatakan cacat formil dan perlu diperbaiki dalam jangka waktu paling lama dua tahun, seyogyanya pemerintah dan DPR agar mengadakan perbaikan pembahasan dari awal lagi dan melibatkan partisipasi publik secara transparan sebagai bukti mematuhi keputusan MK.

Justru yang dilakukan pemerintah dan DPR adalah merevisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) secara cepat dan langsung disahkan dengan tujuan agar bisa melegitimasi UU Omnibus Law, ini yang dimaksud penulis bahwa Pemerintah dan DPR telah melakukan penyelewengan politik.

*D. Kesimpulan.*

Buruh merupakan salah satu unsur terpenting dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perindustrian dan perdagangan sebagai penopang perekonomian negara, maka sudah selayaknya perlu ada perhatian khusus untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya baik itu upah kerja, kesehatan, keamanan dan kenyamanan dalam bekerja.

Sedangkan UU Omnibus Law merupakan regulasi yang sangat merugikan pihak buruh sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan antar pemerintah, pengusaha/investor dan buruh, penulis berpendapat;

1. Sebaiknya UU Omnibus Law dicabut sebelum para buruh bergerak melakukan protes besar-besaran dan terus menerus, sehingga akan berdampak pada kondisi yang kita tidak diharapkan.

2. Buruh untuk tidak hanya dijadikan komoditas politik bagi para elit politik dimasa pesta demokrasi baik pemilu maupun pilkada, tetapi diharapkan ada kesinambungan perhatian penuh terhadap nasib buruh di tanah air.

Penulis:
Aceng Syamsul Hadie,S.Sos.,MM.
Ketua DPD FSP-KSI (Federasi Serikat Pekerja Kependidikan Seluruh Indonesia) Provinsi Jawa Barat dan
Ketua DPD AWI (Aliansi Wartawan Indonesia) Provinsi Jawa Barat.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *