*Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA.*
Disunnatkan berpuasa pada bulan Muharram terutama pada hari sembilan (Tasu’a), hari kesepuluh (‘Asyura’) dan hari kesebelas berdasarkan hadits-hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya::
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Shalat apa yg paling utama setelah shalat wajib?”. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat di tengah malam”. Lalu ditanya lagi: “Puasa apa yang paling utama setelah puasa Ramadhan? Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bulan Allah yang kalian memanggilnya Muharram” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud).
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa ‘Asyura aku berharap pahala kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun sebelumnya” (HR. Muslim, Abu Daud, dan An-Nasa’i).
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ketika Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa hari ‘Asyura, para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya hari ‘Asyura itu hari yg diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika tahun depan kita masih hidup, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas berkata: “Maka tahun depan belum datang, sehingga Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” (HR. Muslim dan Abu Daud).
Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika aku hidup hingga tahun depan maka aku akan benar-benar berpuasa pada hari kesembilan.” Yakni bersama hari ‘Asyura (HR. Ahmad dan Muslim).
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian hari ‘Asyura. Berbedalah kalian dengan orang-orang Yahudi. Puasalah kalian sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Al-Humaidi, Ibnu Khuzaimah dan lainnya).
Para ulama menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura itu ada 3 tingkatan:
Tingkatan Pertama: Puasa 3 hari yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas Muharram. Ini yang paling sempurna.
Tingkatan Kedua: Puasa hari kesembilan dan kesepuluh Muharram.
Tingkatan Ketiga: Puasa hari kesepuluh Muharram saja.
Imam An-Nawawi berkata: “Imam Asy-Syafi’i, para sahabatnya, imam Ahmad, imam Ishaq dan lainnya berkata: “Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh bersama, karena Nabi saw berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat berpuasa pada hari kesembilan.” (Syarhu Shahih Muslim: 8/254).
Imam Ibnu Al-Qayyim berkata: “Tingkatan-tingkatan puasa ‘Asyura itu ada tiga: Tingkatan yang paling sempurna: berpuasa sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya. Tingkatan berikutnya: berpuasa hari kesembilan dan kesepuluh, ini berdasarkan kebanyakan hadits-hadits. Tingkatan berikutnya: berpuasa pada hari sepuluh saja.” (Zadu Al-Ma’ad: 2/76).
Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Dan sebahagian ulama berkata: Hadits Nabi saw di dalam Shahih Muslim: “Jika kami masih hidup tahun depan, maka kami akan berpuasa pada hari kesembilan” mengandung dua hal. Pertama: beliau ingin memindahkan hari kesepuluh ke hari kesembilan. Kedua: beliau ingin menambahkan hari kesembilan kepada hari kesepuluh dalam berpuasa. Ketika beliau wafat sebelum menjelaskan itu, maka sikap kehati-hatian adalah berpuasa dua hari itu . Oleh karena itu, puasa ‘Asyura itu tiga tingkatan. Yang paling rendah adalah berpuasa hari ‘Asyura saja. Tingkatan di atasnya adalah berpuasa pada hari kesembilan bersama hari ‘Asyura. Dan tingkatan di atasnya adalah berpuasa hari kesembilan dan kesebelas bersama hari ‘Asyura. Wallahu’lam.” (Fathu Al-Bari: 4/375)
Imam Ibnu Rajab berkata:
”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram bersama adalah Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 99)
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata: “Hikmah berpuasa Tasu’a adalah untuk menyelisihi orang-orang Yahudi. Dan disunnahkan berpuasa hari kesebelas.” (Tuhfah Al-Muhtaj: 1/532)
Imam Asy-Syaukani berkata: “Dan zhahirnya bahwa untuk lebih berhati-hati adalah berpuasa 3 hari yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas. Maka puasa ‘Asyura itu ada tiga tingkatan: Pertama: puasa hari kesepuluh saja. Kedua: puasa hari kesembilan bersama hari kesepuluh. Ketiga: puasa kesebelas bersama keduanya.” (Nailu Al-Awthar: 4/351)
Syaikh Mansur Ali Nashif berkata: “Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad dan lainnya berkata: Disunnatkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh karena Nabi saw meskipun berpuasa pada kedua hari itu secara terpisah masing-masing, namun beliau berniat berpuasa keduanya bersama jika panjang umurnya. Dan karena perkataan Ibnu Abbas: “Puasalah hari kesembilan dan kesepuluh, dan berbedalah dengan orang-orang Yahudi.” Dan sebahagian ulama berpuasa pada hari kesembilan, kesepuluh dan sebelas. Ini lebih berhati-hati. Wallahu a’lam” (At-Taj Al-Jami’ li Al-Ushul fi Ahadits Ar-Rasul: 2/82).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata: “Di antara puasa sunnat adalah puasa di bulan Allah Muharram. Bulan Allah Muharram adalah bulan antara Zulhijjah dan Shafar. Mengenai bulan ini, Rasulullah saw bersabda: “Puasa yg paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah Muharram”, terutama puasa hari kesepuluh dari bulan Muharram, atau kesepuluh dan kesembilan, atau kesembilan, kesepuluh dan kesebelas.” (Syarhu Riyadhis Shalihin: 5/299).
Syaikh Al-Utsaimin juga berkata: “Rasulullah berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa ‘Asyura, namun beliau memerintahkan untuk berbeda dengan orang Yahudi yg hanya berpuasa pada hari kesepuluh Muharram seperti berpuasa hari kesembilan atau hari kesebelas bersama dengan ‘Asyura. Oleh karena itu, sebahagian ulama rahimahumullah seperti imam Ibnu Al-Qayyim dan lainnya menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura itu ada tiga bagian: Pertama: Kita berpuasa ‘Asyura dan hari kesembilan Muharram. Ini jenis yg paling utama. Kedua: kita berpuasa ‘Asyura dan hari kesebelas. Ini lebih rendah dari yang pertama. Ketiga: kita berpuasa ‘Asyura saja. Ini makruh menurut sebahagian ulama, karena Nabi saw memerintahkan untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi. Namun sebahagian ulama lain ini memberikan keringanan padanya. (Syarhu Riyadhis Shalihin: 5/305).
Syaikh Sayyid Sabiq berkata: “Para ulama menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura itu ada 3 tingkatan:
Tingkatan pertama: Puasa 3 hari yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas.
Tingkatan kedua: puasa hari kesembilan dan kesepuluh.
Tingkatan ketiga: Puasa hari kesepuluh saja.” (Fiqhu As-Sunnah: 1/317).
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa lalu berkata: Yang lebih utama adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karena mengingat hadits Ibnu ‘Abbas, “Apabila aku masih diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (9, 10 dan 11 Muharram) maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi.” (Fatwa Syaikh Ibnu Baz)
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkata: “Jika tidak berpuasa Tasu’a bersama ‘Asyura, disunnatkan berpuasa hari kesebelas bersama ‘Asyura. Bahkan Imam Asy-Syafi’i menegaskan di kitab Al-Um dan Al-Imla’ sunnatnya berpuasa pada tiga hari itu. Para ulama Hanabilah menyebutkan bahwa jika awal bulan tidak jelas bagi seorang muslim, maka dia berpuasa tiga hari, untuk meyakini puasanya.” (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu: 3/1643)
Sebagai penutup, mari kita memperbanyak puasa sunnat di bulan Muharram ini, khususnya puasa Tasu’a, ‘Asyura dan hari kesebelas Muharram. Semoga kita dapat meraih keutamaan puasa di bulan Muharram dan keutamaan puasa ‘Asyura. Dan semoga Allah ta’ala menerima puasa kita. Amin..!
*) Penulis adalah Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM)